Model pembelajaran sangat berperan dalam memandu proses belajar secara efektif. Model pembelajaran yang efektif adalah model yang memiliki landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dan dapat mencapai tujuan belajar yang diharapkan.
Joyce & Weil (1980) mengemukakan model pembelajaran memiliki lima unsur dasar:
1. syntax: langkah-langkah operasional pembelajaran
2. social system: suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran
3. principles of reaction: menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa
4. support system: segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran
5. instructional and nurturant effects: hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan utama (instructional effects) dan hasil belajar di luar tujuan utama (nurturant effects).
Secara filosofis, tujuan pembelajaran adalah untuk memfasilitasi siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran belajar sehingga mampu melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam memecahkan masalah kehidupan di dunia nyata. Model pembelajaran yang dapat mengakomodasi tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma konstruktivistik sebagai paradigma alternatif.
Model pembelajaran yang berlandaskan paradigma konstruktivistik sangat banyak. Di bawah ini dikemukakan beberapa di antaranya, yakni model reasoning and problem solving, model group investigation, model inquiry training, dan model problem-based instruction.
A. Model Reasoning and Problem Solving
Di era globalisasi ini, isu tentang perubahan paradigma pendidikan gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy, seperti kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif. Dalam bidang pembelajaran, perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and problem solving sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif.
Kemampuan reasoning and problem solving merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa untuk bekal mereka memasuki dan melakukan aktivitas di tengah masyarakat.
Reasoning merupakan tingkat berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Basic thinking adalah kemampuan memahami konsep. Critical thinking meliputi kemampuan menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan refleksi. Creative thinking meliputi kemampuan menghasilkan produk orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.
Krulik & Rudnick (1996) mengemukakan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang telah dimiliki dalam rangka memenuhi tuntutan situasi dan kondisi. Jadi, aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir jika sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah.
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah: (1) membaca dan berpikir: mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan, (2) mengeksplorasi dan merencanakan: pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar, (3) menyeleksi strategi: menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan, (4) menemukan jawaban: mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri, (5) refleksi dan perluasan: mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil (Krulik & Rudnick, 1996).
Dalam model ini, guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber yang konstruktif, fasilitator, dan pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah. Materi yang diperlukan berupa materi yang dapat membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, dan berpikir tingkat tinggi.
Pembelajaran model ini berdampak positif bagi siswa. Dengan menerapkan pembelajaran model reasoning and problem solving, siswa akan memperoleh pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan menggunakan pengetahuan secara bermakna.
B. Model Group Investigation
Model pembelajaran group investigation berawal dari perspektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, orang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998). Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob et al, 1996) adalah: (1) siswa hendaknya aktif: learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain: prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.
Gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group investigation yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antarpribadi (Arends, 1998).
Slavin (1995) mengatakan pembelajaran model group investigation memiliki enam langkah: (1) grouping: menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan, (2) planning: menetapkan hal yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, dan apa tujuannya, (3) investigation: saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan membuat inferensi), (4) organizing: anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis, (5) presenting: salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan, dan (6) evaluating: masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, dan melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Dalam pembelajaran model ini, prinsip yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, dan sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti hakikat dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
C. Model Inquiry Training
Dalam model inquiry training terdapat tiga prinsip: pengetahuan bersifat tentatif, manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan indivualitas secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga (kemandirian) akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.
Joyce & Weil (1980) mengemukakan pembelajaran model inquiry training memiliki lima langkah pokok:
1. menghadapkan masalah: menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan
2. menemukan masalah: memeriksa hakikat objek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah
3. mengkaji data dan eksperimentasi: mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis
4. mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan
5. menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif
Prinsip-prinsip yang dikembangkan adalah pengajuan pertanyaan yang jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang teori yang digunakan, menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan atas interaksi, hasil eksplorasi, formulasi, dan generalisasi siswa.
Penerapan pembelajaran model ini memerlukan materi yang mampu membangkitkan proses intelektual dan yang menantang siswa untuk melakukan penelitian.
D. Model Problem-Based Instruction
Problem-based instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends et al, 2001). Dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik, siswa belajar bagaimana mengonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, mengonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Pembelajaran model problem based instruction memiliki lima langkah: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa), (2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan survai dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi dalam kelas: melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota masyarakat (Arend et al, 2001).
Prinsip yang dapat dikembangkan adalah peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa.
*Penulis: A. Effendi Sanusi
Referensi:
Arends, R.I. 1998. Learning to Teach. Singapore: Mc Graw-Hill Book Company.
Arends, R.I. et al. 2001. Exploring Teaching: An Introduction to Education. New York: McGraw-Hill Companies.
Joyce, B. & Weil M. 1980. Model of Teaching. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Jacobs, G.M, Lee G.S, & Ball J. 1996. Learning Cooperative Learning via Cooperative Learning: A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Education on Cooperative Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Center.
Krulik, S. & Rudnick J. A. 1996. The New Sourcebook for Teacing Reasoning and Problem Solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.
Slavin, R. E. 1995. Cooperative Learning: second edition. Boston: Allyn and Bacon.